Di tempat tinggal saya, entah sejak kapan, berdiri sebuah bangunan yang awalnya difungsikan sebagai Toko yang lumayan besar kemudian secara perlahan-lahan melebarkan sayapnya merambah ke bisnis internet yaitu warnet.
Sejak adanya warnet di toko tersebut, dulu saya sering nongkrong di situ untuk internetan terutama jika sedang mati lampu karena di situ ada fasilitas tenaga cadangan apabila kehilangan supply dari PLN. Mungkin saya sudah begitu ketagihan dengan internet sehingga saya sering sekali ke warnet tersebut apabila terjadi insiden mati lampu.
Sekarang saya sudah jarang sekali berkunjung ke warnet yang punya anak cantik dan manis itu, yang sekarang jarang saya lihat, entah kemana rimbanya, entah sejak kapan. Namun baru-baru ini, saya ingin internetan tapi karena mati lampu jadinya saya memutuskan untuk ke warnet terdekat, dan warnet tersebut membuat saya tidak bisa memilih karena satu-satunya warnet yang bisa saya tempuh hanya dengan kurang dari 100 langkah dari gerbang pintu rumah.
Dulu ketika saya masih sering berkunjung ke warnet itu, penghuninya lebih banyak nyong-nyong (pemuda-pemuda) dari Papua yang notabene adalah mahasiswa dan juga sekumpulan anak-anak SD di lingkungan setempat. Jika saya perhatikan, mahasiswa dari Papua ini ke warnet karena tugas kuliah tetapi anak-anak kecil itu lebih memilih bermain game online, entah apa namanya permainan itu, tidak pernah ada keinginan untuk mencari tahu karena saya sendiri tidak suka main game.
Yang menarik dari sekumpulan mahasiwa Papua ini adalah jika mereka datang bergerombol, mereka tidak segan-segan bercengkrama dengan teman-teman mereka dengan logat dan gaya berbahasa khas Papua, ditambah dengan suara keras yang bisa didengar oleh semua pengunjung di dalam warnet itu. Sedangkan anak-anak ingusan itu tidak kalah lebih ribut lagi, ya.. namanya anak-anak yang lagi seru-serunya main game.
Entah kenapa dan bagaimana, setiap kali saya berkunjung ke warnet itu, sekumpulan mahasiswa papua dan anak-anak ingusan itu selalu ada di sana. Mungkin mereka membangun tenda di depan warnet, tapi sepertinya tidak, karena saya tidak melihat jejaknya.
Lama tak berkunjung, saya pun melihat perubahan, bukan kecepatan akses di warnet itu yang lebih cepat dari biasanya tapi perubahan gaya berbahasa anak-anak ingusan itu yang sudah terkontaminasi hampir dengan sempurna oleh logat-logat mahasiswa asal Papua yang sering nongkrong di warnet tersebut.
Anak-anak ingusan itu bicara dengan teman-teman sebayanya dengan bahasa Manado tapi dengan logat Papua. Bukan hanya dengan teman-teman sebaya, tapi juga ke semua pengunjung warnet dengan begitu pede dan lebih pede lagi kalau sama orang papua.
Yang menggelitik kuping saya adalah kata-kata yang sering sekali diucapkan oleh anak-anak ingusan itu bahkan sangat sering sekali. Mungkin awalnya mengejek tapi akhirnya terbiasa hingga akhirnya menjadi tren di antara mereka dan menjadi bagian dari setiap percakapan mereka sehari-hari.
Yeah…, anak-anak ingusan itu sering sekali mengatakan “Seng makan mati! Makan seng mulu ta rabe”. Saya pernah mendengar kalimat serupa seperti itu ketika saya KKN dan satu posko dengan seorang mahasiswa asal Papua pada pertengahan tahun 2009 lalu. Namun, apa yang diucapkan oleh anak-anak ingusan itu sedikit berbeda dari yang pernah saya dengar. Teman saya yang papua itu mengatakan, ‘orang ambon bilang “Seng makan mati! Makan seng mati!”’ yang artinya “Tidak makan mati! Makan atap seng mati!”, bukannya “Seng makan mati! Makan seng mulu ta rabe!” yang artinya “Tidak makan mati! Makan seng mulut sobek-sobek!”.
Home thought Seng Makan Mati! Makan Seng Makan Mulu Ta Rabe!
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment